Rabu, 07 November 2012

Zaman Klasik



Spekulasi  canggih serta  mistisisme  intelektual ternyata tidak dapat spekulasi aspirasi religius manusia biasa. Reaksi ini diikuti oleh spekulasi sekelompok kecil arif-bijaksana yang memisahkan diri dengan ciri-ciri sebagai berikut:
(a)    Penekanan pada moralitas, pengendalian diri dan kerja yang baik.
(b)   Interprestasi yang rasuonal terhadap masalah kehidupan manusia.
(c)    Penolakan terhadap ritualisme serta menghormati kehidupan dunia hewan.
(d)   Kepercayaan terhadap Tuhan personal,  kepada siapa manusia dapat memuja dan mempersembahkan devosinya.
Jika para pertapa dan arif- bijaksana membimbing beberapa murid dalam menjalankan mistisisme metafisis, maka kasta Brahmana mengembangkan teks-teks ritual rumit yang dikenal sebagai  sutra. Reaksi populer tervermin dalam gerakan-gerakan seperti buddhiesme, Jainisme, Shaivisme, dan Vaishnavisme.
Menurut Arvind Sharma, terdapat dua bentukreaksi terhadap ritual qorban model Weda, yakni eksterbal dan internal. Teks-teks Upanishad  yang mengkritisi tradisi sebelumnya, namun masih tetap mendudukkan serta mengidentifikasikan diri dengan Weda. Namun pada abad ke-6 S.M., muncul dua gerakan utama yang mendudukkan diri mereka di luar kekolotan hukum Weda, yakniBuddhisme dan Jainisme. Dalam menghadapi tantangan inilah Hinduisme lantas memulai meredefinikasi dirinya. Buddhisme dan Jainisme memang menolak otoritas atau tradisi weda, terutama mengenai komitmen terahadap tujuan serta kehidupan duniawi, instuisi kasta dan tahap-tahap kehidupan, paling tidak sebagian, jika tidak seluruhnya. Hinduisme merumuskan dirinya dalam menghadapi tantangan ini, dengan menyatakan validalitas weda serta hukum kasta (varna) dan tahap-tahap kehidupan (asrama). Pada mulanya gerakan Hinduisme dan Jainisme menarik banyak perhatian orang dan menjadi kekuatan yang cukup besar. Jika kita melihat bukti-bukti arkeologis dari abad ke-2 S.M, ,aka bukti menunjukkan bahwa gelombang pasang sedang memihak kepada Hinduisme, dan sejumlah besar orang asing yang masuk ke India pada waktu itu juga menjadi pengikut Budhisme.
Namun lambat laun gelombang pasang tersebut berbalik. Pendirian dinasti Gupta di India Utara sekitar 300 M, memberikan tanda kebangkitan kembali Hinduisme. Pada abad lke- 3 sampai abad ke-10, Hinduisme telah berhasil secara gekilang mendudukkan diri sebagai agama dominan di India.
ketika Fa Hsien mengunjungi India pada abad ke-4, Buddhisme memang sedang berkembang, dengan pesat, tetapi tanda-tanda kebangkitan Hinduisme juga sudah tampak jelas. Demikian juga dari catatan I Ching yang kemudian juga berkunjung ke India. Kemudian Hsuan-Tsang meminta agar kutipan dari Rig-Weda dikirim kepadanya setelah ia kembali ke cina, dan seorang raja Hindu memintanya untuk menerjemahkan Tao Te Ching ke dalam bahasa Sansekerta. Hal ini membuktikan adanya interaksi baik antara Hinduisme dan Buddisme, yakni:  antara India dan Cina pada saat itu. Kebangkitan Hinduisme di masa Klasik terkait erat dengan kebangkitan dan kesadaran akan Weda, yang secara grafis digambarkan lewat imajinasi raksasa seekor babi yang meruoakan inkarnasi dewa Wishnu, yang menyelamatkan bumi dari kejatuhannya.
Buddhaisme dan Jainisme
Bersama-sama dengan kaum Materialis (Carvaka), ketiga aliran ini disebut nastika, artinya tidak menerima otoritas Weda. Mereka juga dimasukkan ke dalam golongan  ‘heterdoks’ (tidak-ortodoks). Sedangkan ke-enam aliran filsafat (shad-Darsana) yang disebut astika adalah yang menerima otoritas Weda disebut juga sebagai golongan ‘ortodok’. Keduanya mengajarkan doktrin etika yang menekankan kesucian lehidupan hewani, sehingga berada di luar jangkauan Hinduisme kolot, karena penolakan mereka terhadap Weda sebagai kitab suci. Kita akan membahas kedua aliran ini di bagian belakang buku in.i
Shaivisme dan Vaishnavisme
Kedua aliran ini merupakan gerakan teistik yang sulit dilacak asal-usulnya dan memainkan peranan sangat penting dalam perkembangan Hinduisme berikutnya. Shaivisme atau agama shiva tampaknya dimulai sekitar abad ke-6 S. M. Dengan menyembah dewa  Rudra dalam kitab Weda. Namun segera dewa Rudra digantikan oleh shiva yang merupakan dewa kaun non-Aryan. Shiva dapat masuk kedalam tubuh yang sudah mati serta muncul dalam wujud manusia unutk mewahyukan agama baru. Doktrin devosi (Bhakti) yang diajarkan dalam Bhagavata dikatakan telah diwahyukan oleh Vasudeva-Krisna. Ajaran ini disebut ‘Agama devosi tunggal’ (akantika-Dharma). Hal ini terkait dengan Bhagavad-Gita yang ditulis sekitar abad ke-4 atau ke-3 S.M. Ajaran Gita ditulis secara terpisah sebagai bab tersendiri. Kemudian Vasudeva-Krisnadiidentifikasikan dengan dewa Wishnu dan seluruh gerakan berkembang menjadi agama Wishnu (Vaisnavism). Kedua epos, yakni Mahabharata dan Ramayana kemudian menjadi sarana pemikiran religius serta devosi bagi masyarakat.
Dalam Mahabharata, terdapat gambaran tentang perkembangan agama Shiwa dan agama Wishnu yang mengkristal dalam cerita epos. Rama sebagai tokoh utama dalam epos Ramayana dibuat menjadi jelmaan (avatara)dari dewa Wishnu dan teks Ramayana lantas menjadi teks suci kaum Vaishnavisme.

Perkembanga agama populer membentuk sebuah tantangan bagi tradisi ritual Weda serta mistisisme metafisis awal. Untuk memenuhi tantangan ini, maka para ritualis dan metafisikawan mulai merumuskan serta menyistemkan ini melahirkan berbagai sistem filsafat India. Ada enam sistem (Shad-Darshana), yakni: Nyanya, Vaisheshika, Samkhya, Yoga, Purva-Mimamsa dan Vedanta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar